Buku Soekarno di Bawah Bendera Jepang (1942-1945) mengingatkan karya Soekarno berjudul Di Bawah Bendera Revolusi (1964).
Bisa jadi, dilihat dari sisi komersial, kemiripan judul sengaja untuk
strategi agar masyarakat tertarik. Memang, sekarang banyak buku
Soekarno diterbitkan ulang. Kemiripan judul akan memberi kesan epigon. Buku yang ditulis oleh Peter Kasenda ini memberi banyak pengetahuan bagi pembaca dalam memahami kehidupan Soekarno.
Buku
dilengkapi foto terkait bahasan dalam bab. Buku mengajak pembaca
memahami kisah Soekarno dan Jepang tidak hanya dari kata-kata, tetapi
juga gambar. Foto ditampilkan dari sumber-sumber terpercaya. Di
antaranya, foto Soekarno di Gedung Landraad (pengadilan) Bandung 1930
saat dituntut Hindia Belanda atas kegiatan politiknya. Foto ini
bersumber dari Deppen (hlm. 3). Kemudian foto Bung Karno duduk bersama
Panglima Besar Angkatan Darat ke-16 Jepang, Jenderal Imamura di Istana
Merdeka milik koleksi Aiko Kurasawa (hlm. 62).
Penulis memang banyak menghasilkan tulisan sekitar Soekarno seperti Sukarno Muda Biografi Pemikiran.
Buku ini berisi kisah lika-liku perjuangan Soekarno pada masa
penjajahan Jepang. Soekarno berada di ranah abu-abu. Di satu sisi, dia
harus menjalankan perintah Jepang. Di sisi lain, Soekarno giat
memperjuangkan aspirasi kaum nasionalis (hlm. xi).
Kedatangan
Jepang di Indonesia disambut baik rakyat. Ini terkait ramalam Raja
Jayabaya yang menyebutkan Indonesia akan diselamatkan bangsa berkulit
kuning. Hal ini pun sempat menimbulkan kesalahpahaman para pejuang
kemerdekaan Indonesia.
Harapan yang diberikan Jepang lewat pamflet berbunyi, “Orang
berkulit kuning akan datang dari utara untuk membebaskan Indonesia
dari perbudakan Belanda. Maka carilah orang kulit kuning.” Ini
menjadikan Ketua Partai Syarikat Islam Indonesia Abikoesno menemui
Nakayama Yoshito. Dia mengonfirmasi janji kemerdekaan yang didengungkan
Jepang. Pada akhirnya pertemuan itu malah menjadikan bendera Merah
Putih dilarang berkibar di Pulau Jawa. Impian indah itu pun buyar (hlm.
46-47).
Buku ini juga mengisahkan Soekarno dan
romusha. Bagi sebagian orang, karena propaganda Sekutu menganggap
Soekarno membela Jepang, lalu mendukung pengiriman romusha Indonesia.
Soekarno memang mengakui tidak menyelamatkan nyawa para romusha (hlm .
132). Namun, itu pilihan untuk menyelamatkan jutaan rakyat Indonesia.
Terlebih Indonesia sudah dekat dengan kemerdekaan yang diperjuangkan
bertahun-tahun. Soekarno beralasan, “Ada dua jalan yang bisa
dilakukan, yang satu tindakan revolusioner. Tetapi akan menimbulkan
pertumpahan darah serta menelan banyak korban seperti pemberontakan
PETA di Blitar. Itu dilakukan terlalu cepat dan rakyat belum siap.
Sedangkan jalan kedua, bekerja sama dengan Jepang sambil
mengonsolidasikan kekuatan serta menanti mereka jatuh. Aku mengikuti
jalan kedua.” (hlm 133).
Semua melihat
sendiri, akhirnya pilihan Soekarno itu benar. Pada 17 Agustus 1945
Indonesia merdeka. Teks proklamasi dibacakan setelah ditandatangani
Soekarno dan Hatta. Bendera Merah Putih pun berkibar dan lagu Indonesia
Raya berkumandang. (Arif Rohman - sumber: www.koran-jakarta.com)